besar hari-hariku bersama gorila-gorila liar pegunungan. Rumah
mereka dan rumahku berada di lembah-lembah hutan berkabut di
barisan Virunga, delapan gunung berapi yang tinggi, yang tertinggi
adalah 14.787 kaki yang dimiliki oleh tiga bangsa Afrika: Rwanda,
Uganda, dan Republik Demokrasi Kongo.
Selama ini, aku berteman akrab dengan banyak gorila begitu
juga sebaliknya. Mereka menyusuri lembah-lembah pegunungan,
bermain secara berkelompok, dan beberapa kelompok kini
menerima kehadiranku sebagai salah satu anggota. Seekor gorila
bahkan berani bermain-main dengan tali sepatu botku.
Aku mengenal gorila-gorila itu sebagai pribadi-pribadi, dengan
sifat dan kepribadiannya. Aku telah memberi nama untuk mereka:
Rafiki, Paman Bert, Icarus, dan sebagainya.
Keakraban ini tidak mudah diperoleh. Petunjuk yang ada dalam
diktat untuk studi-studi semacam itu adalah duduk dan mengamati
saja. Aku tak puas dengan pendekatan ini. Aku merasa bahwa
gorila-gorila itu akan curiga terhadap objek-objek asing yang hanya
duduk dan memandang. Oleh karena itu, aku berupaya untuk
mendapatkan perasaan percaya dan rasa ingin tahu mereka
dengan cara beraksi seperti seekor gorila.
Gorila-gorila itu menanggapinya dengan senang hati, walaupun
kuakui, metode ini tidak selalu menyenangkan. Orang akan merasa
tolol dengan memukul-mukul dada secara ritmis, atau duduk sambil
berpura-pura mengunyah batang daun seledri.
Gorila adalah jenis monyet terbesar. Gorila jantan dewasa
memiliki tinggi enam kaki dan berat 200 kilogram atau lebih.
Lengannya yang besar dapat direntangkan hingga dua setengah
meter. Barisan pegunungan tempat tinggal gorila terbatas pada
daerah rimbun hutan basah di Afrika Tengah. Di sana hanya tersisa
sekitar ribuan gorila dengan kelestarian yang mengkhawatirkan.
Sebagian wilayah yang mereka diami telah disisihkan
sebagai taman, dan secara teoritis, gorila sangat dilindungi.
Namun sesungguhnya, mereka terus didesak ke wilayah yang
semakin sempit, terutama oleh tuan-tuan tanah dan peternak
Batutsi. Kalau tidak ada upaya yang lebih terencana dan terkondisi
untuk menyelamatkan gorila pegunungan, maka eksistensinya
akan hancur dalam dua atau tiga dekade mendatang.
Salah satu langkah dasar untuk menyelamatkan spesies yang
terancam adalah dengan mengetahui lebih banyak spesies tersebut,
makanannya, pasangannya dan proses reproduksinya, pola
tempat tinggalnya, dan perilaku sosialnya. Aku telah membaca
penelitian Jane Goodal tentang simpanse, dan aku mengunjungi
kemahnya di Gombe National Park Tanzania. Tahun 1967, dengan
bantuan Dr. Louis Leakey dan dana dari National Geographic Society
dan Yayasan Wilkie Brothers, aku memulai penelitian tentang
gorila.
Penelitian ini bukannya tanpa gangguan. Salah satunya cukup
serius. Aku memulai pekerjaanku di Kongo, di lembah Gunung
Mikeno. Baru enam bulan mengamati, aku dipaksa pergi meninggalkan
negara itu karena kerusuhan politik di Provinsi Kivo. Ini
merupakan kemunduran yang substansial karena gorila-gorila di
sana bergerak dalam sistem taman yang sangat terlindung tanpa
ancaman terus-menerus dari ulah manusia. Dengan demi-kian,
mereka tidak merasa terganggu dengan kehadiranku, dan
pengamatan itu sangat bermanfaat. Setelah meninggalkan Kongo,
aku memulainya lagi, kali ini di Rwanda. Kemah baruku terletak
dekat padang rumput yang luas yang membentuk daerah pelana
yang menghubungkan Gunung Karisimba, Mikeno, dan Visoke.
Walaupun kemah lamaku hanya berjarak lima mil, aku mendapatkan
bahwa gorila-gorila Rwanda telah merasa sangat
terganggu oleh tuan-tuan tanah dan penggembala ternak sehingga
mereka menolak segala upaya pertamaku untuk mendekat.
Di Rwandalah gangguan kedua datang setelah sembilan belas
bulan aku bekerja di sana. Namun, tak seperti yang pertama,
hal ini terbukti sangat berarti bagi penelitianku.
Awalnya, masih segar dalam ingatanku pada suatu pagi yang
berkabut di bulan Februari, aku berjalan menelusuri tanah berlumpur
yang sangat licin yang merupakan jalan utama antara
desa Rwanda yang terdekat dan kemah penelitian gorilaku, di
ketinggian 3.000 meter di Gunung Visoke. Di belakangku, pengangkut
barang-barang membawa sebuah kotak bayi, bagian atasnya
tertutup. Dari kotak tersebut terdengar tangis yang semakin
lama semakin keras dan memilukan pada setiap langkah kami.
Suaranya sangat memilukan seperti tangis bayi manusia.
Kabut yang dingin bersemilir keluar masuk pohon-pohon besar;
namun wajah-wajah para pengangkut barang dibasahi keringat
setelah empat jam melakukan pendakian berat sejak
meninggalkan Land Rover di dasar gunung. Kemah benar-benar
pemandangan yang menggembirakan, dan tiga orang Afrika
yang merupakan stafku segera berlari keluar untuk menyambut
kami.
Hari sebelumnya, aku telah mengirim sandi SOS menyuruh
mereka mengubah salah satu dari dua pondokku menjadi sebuah
hutan. Menghancurkan sebuah kamar dan mendatangkan
pohon-pohon, tanaman perdu, dan dedaunan lainnya, bagi mereka
tampak tak masuk akal, tetapi mereka sudah terbiasa dengan
permintaanku yang aneh. ”Chumba Tayari” mereka memanggil,
memberitahukanku bahwa ruangan itu telah siap. Kemudian, dengan
berbagai teriakan dan perintah dalam bahasa Kinyarwanda,
bahasa nasional Rwanda, mereka memasukkan kotak bayi itu
melalui pintu pondok dan meletakkannya di tengah pepohonan
yang muncul di antara lantai-lantai papan.
Kini aku membuka bagian atas kotak itu dan kemudian berdiri
mundur. Dua tangan mungil muncul dari dalam kotak meraih
tepi-tepi kotak, dan perlahan sang bayi pun mendorong tubuhnya
keluar.
0 komentar:
Posting Komentar