Salah satu kerajaan Melayu di Sumatra Utara, yang dianggap
kelanjutan Kerajaan Deli Tua. Berdasarkan sumber lokal, Kesultanan Deli
didirikan oleh Gocah Pahlawan, seorang panglima Perang Aceh yang menaklukkan
Kerajaan Haru (di Sumatra Timur) pada tahun 1612. Pada tahun 1930 Gocah
Pahlawan berangkat ke Deli untuk melumpuhkan sisa-sisa kekuasaan Haru Deli Tua,
dan bertindak sebagai wali Aceh dengan wilayah kekuasaannya dari Temiang sampai
ke Pasir Ayam Denak (Rokan). Atas bantuan Aceh puia pada tahun 1641 Gocah Pahlawan
memperkokoh kedudukannya dengan meluaskan kekuasaannya atas raja-raja kecil di
Sumatra Utara. Gocah Pahlawan kemudian digantikan oleh Tuanku Panglima
Perunggit, anaknya, yang bergelar "Kejeruan Padang," yang memerintah
sampai tahun 1700.
Pada tahun 1669, ketika Aceh diperintah oleh Sultan Tajuh
Alam Tsafiatuddin, sultan perempuan yang lemah, Deli melepaskan diri dari
kekuasaan Aceh. Sayangnya, sejak saat ini Kesultanan Deli tidak banyak
diketahui. Catatan tentang Kesultanan Deli pada masa ini tidak ditemukan. Baru
setelah masa pemerintahan Sultan Panglima Gendar Wahid, diketahui bahwa
Kesultanan Deli terlibat peperangan dengan Serdang. Pada tahun 1780, Kesultanan
Deli kembali berada di bawah kekuasaan Aceh, melalui ekspedisi militer yang
dilancarkan terhadap Deli.
Pada masa pemerintahan Sultan Osman Perkasa Alam, yang naik
takhta pada tahun 1825, Kesultanan Deli kembali menjadi kuat. Kekuasaan
Kesultanan diperluas dan hal ini mengancam kekuasaan raja-raja lainnya, seperti
Sunggal, Buluh Cina, Langkat, dan Suka Piring. Daerah Serdang digempur,
Kerajaan Percut ditaklukkan, dan Kesutanan Deli mulai menentang kekuasaan Aceh.
Pada tahun 1854 Kesultanan Deli kembali ditaklukkan oleh Aceh, dan Sultan Osman
ditetapkan sebagai wakil Sultan Aceh. Serdang dan Percut kemudian bebas dari
kekuasaan Kesultanan Deli. Setelah meninggalnya Sultan Osman Perkasa Alam pada
tahun 1858, Kesultanan Deli diperintah oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam, tahun
1861 sampai 1873. Pada masa pemerintahannyalah ekspedisi I Belanda di bawah
pimpinan Netscher datang ke Kesultanan Deli.
Pada saat Aceh berusaha menguatkan kembali kekuasaannya di Deli,
Siak berkembang menjadi kesultanan yang kuat. Atas dukungan Belanda, Siak berhasil
memperkokoh kekuasaannya di Sumatra Timur dengan menaklukkan sejumlah kerajaan
yang ada, termasuk Kesultan Deli. Atas bantuan Belanda pula Siak berhasil
melepaskan diri dari kekuasaan Aceh. Sebagai imbalannya, pada bulan Februari
1859 Sultan Siak menandatangani Traktat Siak (Perjanjian Siak) yang isinya
pengakuan bahwa Kesultanan Siak dan seluruh daerah taklukannya yang meliputi
daerah pesisir timur Sumatra Utara masuk ke dalam wilayah Belanda, dan Belanda
berhak mendirikan loji perdagangan dan benteng pertahanan bila diperlukan.
Dengan demikian, daerah di pesisir timur Sumatra yang meliputi Kerajaan
Leidong, Bilah, Batubara, Kota Pinang, Asahan, Serdang, dan Deli, berdasarkan
Traktat Siak berada di bawah kekuasaan Belanda. Atas dasar Traktat Siak ini
pula, pada bulan Agustus 1862 Kesultanan Deli, Serdang, dan yang lainnya satu
per satu menandatangani Act e van Erkenning en Bevestiging (akta pengakuan
terhadap kekuasaan Belanda).
Pelaksanaan kekuasaan Belanda atas daerah di Sumatra Timur
dilakukan berdasarkan kontrak politik. Ada dua sistem kontrak politik yang
diterapkan, yakni yang disebut Korte Verklaring dan Lange Ver klaring Artinya,
daerah yang berada di bawah kekuasaan Belanda atas dasar Korte Verklaring
diperintah langsun oleh Belanda, sedangkan kekuasaan Belanda atas daerah yang
didasarkan atas Lange Verklaring terbatas pada sejumlah kekuasaan yang
disebutkan dalam perjanjian. Kesultanan Deli dan yang lainnya, seperti Langkat,
Serdang, Asahan, dan Siak terikat dengan kekuasaan Belanda atas dasar Lange
Verklaring (Perjanjian Panjang).
Penerapan kekuasaan Belanda atas dasar kontrak politik ini
mengizinkan Kesultanan Deli dan yang lainnya menjalankan pemerintahan secara
otonomi, menjalankan kekuasaan hukum berdasarkan bentuk aristokrasi kesultanan
sepenuhnya, dan mempunyai tanggung jawab penuh pula atas berbagai bidang. Salah
satu di antaranya adalah masalah tanah. Kekuasaan kesultanan atas pemilikan
tanah ini ternyata mendatangkan kekayaan yang melimpah bagi Kesultanan Deli,
termasuk Sultan dan keluarganya, karena meluasnya perkebunan tembakau dan
perusahaan asing di sana sejak tahun 1865-an. Pengusaha-pengusaha perkebunan
tembakau Deli memberikan pelayanan yang begitu istimewa kepada Sultan untuk
memperoleh jaminan sewa tanah dari kesultanan. Konsesi semacam inilah yang
menyebabkan Sultan menjadi kaya raya. Kekayaan yang luar biasa ini memungkinkan
para sultan memiliki istana yang cantik, kuda pacu, mobil mewah, dan sekoci
pesiar, mengadakan resepsi semarak menyambut orang Eropa yang berpengaruh, dan
sebagainya.
Pada
tahun 1873, Belanda membentuk pemerintahan Keresidenan Sumatra Timur dengan
pusat pemerintahannya di Bengkalis. Pada bulan Maret 1887, pusat pemerintahan
Keresidenan ini dipindahkan ke Medan. Wilayah kekuasaannya meliputi 4 daerah
afdeling, yakni Deli dan Serdang, Simalungun dan Karolanden, Langkat, dan
Asahan. Demikianlah, Kesultanan Deli terkait dalam eksploitasi perkebunan di Sumatra
Timur, khususnya perkebunan tembakau, sampai keruntuhan kekuasaan kolonial
Belanda pada pertengahan abad ke-20.
0 komentar:
Posting Komentar